kamu bisa melihatnya dari kejauhan

konon, bahagia penuh teorema
aku mengamininya dengan menerka-nerka dimana letak bahagia
pada bilangan atau angka purba

Kita sepasang bilangan prima,
apa yang tak habis dibagi, selain dengan keras kepala kita sendiri
tetapi muskil menyebut tiadamu lagi
ohh, pikiran serumit aljabar
getar yang tak mampu ku jabar

setiap guru tua itu berbicara tentang besar kemungkinan
aku diserang ingatan tentangmu, satu yang coba kumungkinkan
tetapi aku percaya, 
bahwa takdir selalu mempunyai jumlah yang ganjil
sebab adamu, menggenapkannya

membilang kita

andai aku bertemu lagi denganmu,
kamu mungkin tersipu menyebut namaku
itu karena aku tanpa ragu, menyebut namamu dengan keramahan,
dan dengan ejaan sempurna aku bertanya,
‘ke mana saja kamu selama ini ? aku menunggumu sejak perpisahan terakhir’
ujarku memelukmu lembut, mataku basah merindu airmata

ya, aku pernah mengenalmu
engkau yang tiba-tiba hadir, memberi biru langitku, hingga satu titik kita bertukar kata akhir
aku meninggalkanmu di simpang jalan, karena harus menempuh nasibku sendiri

aku ingat engkau menitikkan airmata, lalu berucap,
‘temui aku di tepi waktu, bila cemas dan rindu memuncak’
aku ingat betul sore itu

andai aku bertemu lagi denganmu. inilah yang akan aku katakan,
‘Tuhan, terimakasih, dia masih menyimpan namaku.. ceritaku.. cerita kita..’

menari di tepi waktu

Kekasih, maafkan inginku
hengkang dari kota gelisah menyeret sisa-sisa pertemuan
barangkali ada yang berharga untuk kujadikan tiang-tiang kesaksian,
bahwa kita pernah bersama

langit memang telah lama murung
ingin menumpahkan kekesalannya lewat hujan yang dahsyat
ingin menggiring penghuni bumi ke neraka yang paling pengap,
ke kedalaman samudera di mana ikan-ikan hiu siap meniadakannya
tapi aku hengkang bukan karena itu

bukan juga karenamu
aku ingin membangun kota sunyi dari bongkahan perasan yang paling akhir,
bukan dari lempengan baja atau sisa-sisa plastik yang terbakar
di sana akan kusapa kenangan dan tangan penuh embun
akan kupelihara potret juga bajumu
meski tanpa lemari dan harum parfum
lantas suatu saat kukirimkan surat padamu, tertulis disana "bahwa aku tak bisa melupakanmu"

membangun kota sunyi

di dekat jendela, di kursi aku mengikat diri
ini perjalanan dari Bandung ke Jakarta,
perjalanan yang melintasi langit Oktober yang bingung pada perangai sendiri
aku tak mampu terpejam dan bermimpi,
selama tiga jam aku cuma mampu berpikir tentang pikiran kamu
pikiran kamu seperti langit lapang dan senang berubah warna

aku cuma penumpang dari balik jendela,
seorang yang takut pada kecepatan tinggi,
tetapi membiarkan pemegang kemudi memacunya kencang
aku berpikir tentang pikiran kamu
aku merasa berangkat ke kotamu melawan waktu,
perjalanan tiga jam hanya kutempuh dua jam kadang terasa cuma sepejam
tetapi kembali ke kotaku harus aku bayar dengan perjalanan yang jauh lebih lama

aku berpikir tentang pikiran kamu
pikiran yang kamu gunakan bertanya tentang kota yang terbuat dari kemacetan dan korupsi,
menteri-menteri yang diganti dan tidak diganti,
juga presiden yang gampang diserang rasa prihatin kepada diri sendiri
pikiran yang sama kamu gunakan bertanya apakah aku sebaiknya dipertahankan
atau dilepaskan,
diganti lebih lekas atau dibiarkan bertahan dalam ruang antara sudah selesai atau masih andai

aku berpikir tentang pikiran kamu
pikiran yang disebut orang tuamu sebagai rumah sakit bersalin,
selalu ada anak yang lahir, cerita, tulisan juga kata
pikiran yang bagi lelaki seperti aku kadang tempat berlibur,
hanya nyaman buat berakhir pekan atau menenangkan diri beberapa hari
atau kadang-kadang satu-satunya tempat tinggal layak huni di bumi
tetapi kemudian aku duga tempat di mana aku pernah ditunggalkan
lalu ditanggalkan dan ditinggalkan pemiliknya sendiri

aku berpikir tentang pikiran kamu
pikiran yang sering menolak dikecup dan ditakar dengan jawaban-jawabanku
pikiran yang malah lebih sering memilih terpekur memeluk pertanyaan-pertanyaan sendiri
pikiran yang kadang halaman rindang, kadang hutan yang pohon-pohonnya belum ditebang, kadang cuma ladang-ladang kerontang
pikiran yang pernah mengabaikan siapapun kecuali aku
pikiran yang pernah berpeluk
pikiran yang gampang goyah tetapi gamang memutuskan sesuatu dan aku

aku berpikir tentang pikiran kamu
pikiran selapang langit, yang lihai melukis matahari, purnama, bulan kesiangan,
namun dihantui gerhana
pikiran yang berhadap-hadapan dengan lautan,
yang selalu dahaga, selalu siaga menumpahkan sesuatu yang basah seperti kesedihan

aku berpikir tentang pikiran kamu
pikiran yang dilintasi mobil yang bergetar karena alas jalan yang buruk
pikiran yang dilintasi mobil yang di dalamnya ada seorang duduk di dekat jendela,
memandang langit Oktober yang bingung pada perangai sendiri,
seorang yang rela jatuh melayang tanpa parasut di pikiran kamu

aku berpikir tentang pikiran kamu
pikiran yang barangkali sedang ragu mengecupkan kabar apa ketika lelaki itu selamat
tiba di terminal Selatan Jakarta
aku berpikir tentang pikiran kamu
pikiran yang sibuk menduga apa maksud tulisan yang diejakan lelaki yang dalam perjalanan sibuk berpikir tentang pikiran seseorang
agar bisa menulis dan membacakan sesuatu di acara keluargamu nanti

selama tiga jam

merelakan mungkin, melupakan ? tak akan bisa
lagi - lagi aku masih membicarakan tentang kenangan,
yang mungkin harus dipaksakan untuk segera kulupakan
tapi jawabannya masih tetap sama, mungkin

aku tak tahu apa itu cobaan hidup,
yang jelas orang bilang Tuhan tak akan memberikannya, tanpa kita bisa melewatinya
berarti jika kuanggap mencoba melupakanmu adalah sebuah cobaan,
mungkin suatu saat aku akan berhasil melewatinya, mungkin

setiap hari aku menenangkan diri sendiri,
membandingkan hidupku dan masa depanku dengan cara berkaca kepada orang lain,
sahabat - sahabatku sekarangpun sudah bahagia atau bahkan menikah dengan cinta baru yang mereka temukan,
suatu saat akupun akan begitu, mungkin

kenangan
kamu bagai akar - akar kuat yang bertopang ditanah basah,
pohonmu tumbuh dengan kokoh tapi tak pernah bisa berpindah
tak pernah bisa menemukan tempat lain untuk singgah
aku masih berharap jika suatu hari nanti pohon itu akan memiliki kemampuan untuk berjalan,
karena dia sudah begah, jengah dengan pengabaian
pohonku ingin pergi dan meneduhkan tempat lain,
tempat lain yang lebih membutuhkan, tempat lain dimana dia tak diacuhkan
mungkin


dingin, aku butuh pelukan
lemas, aku butuh sandaran
sadar, aku butuh kehidupan

apa yang telah aku lakukan pada diriku ?
aku masih bernafas tapi seperti tak bernyawa

untuk kebaikan, untuk harapan yang selalu Tuhan beri
aku tak bisa lagi berpijak pada kemungkinan – kemungkinan
yang aku butuhkan adalah sebuah keyakinan,
bahwa diluar sana ada seseorang yang mampu membuatku merengkuh senyum bahagia lagi

untuk kebaikan, untuk harapan yang selalu semua orang bisikan
aku harus belajar sekali lagi, membuka hati yang masih berfungsi
dan YAKIN...
bahwa kamu bukanlah untukku jika kamu tak bisa bersamaku

kenangan biar tersimpan menjadi pelajaran,
menjadi kekuatan untuk membangun sebuah harapan

bukan dengan kemungkinan, tapi dengan keyakinan
aku yakin

mungkin

suatu hari kamu pernah bertanya padaku:

bagaimana laku kita nanti,
jika kita sudah tak saling cinta lagi ?
bagaimana nasib cinta nanti,
jika kepedulian satu sama lain sudah mati rasa ?
bagaimana nasib doa- doa nanti,
jika cemas tak lagi mau membahasakan kita ?
bagaimana nasib kata-kata nanti,
jika mereka tak lagi menguntaikan indah kita ?
bagaimana nasib sepasang mata nanti,
jika yang mereka lihat, hanya bayang hitam semata ?
bagaimana nasib keningku nanti,
jika bibirmu tak rutin menciuminya lagi ?
bagaimana nasib rambutku nanti,
jika jemarimu tak membelainya lagi ?


bagaimana nasib kepalaku nanti,
jika bahumu tak jadi pondok tepi lautnya lagi ?
bagaimana nasib ingatanku nanti,
jika senyumanmu enggan bertamu lagi ?
bagaimana nasib orang tuaku nanti,
jika tahu anak gadisnya rutin mengurung diri ?


bagaimana nasib lampu-lampu kota nanti,
jika terangnya tak menyatakan bayang-bayang kita lagi ?
bagaimana nasib baju-bajuku nanti,
jika wangi tubuhmu tak bersemayam di sana lagi ?
bagaimana nasib puisi-puisi kita nanti,
jika jantungnya direnggut oleh tangan-tangan sepi ?
bagaimana nasib langit biru nanti,
saat engkau tak terbang tinggi di sana lagi ?
bagaimana nasib masa depanku nanti,
saat kamu, potongan mimpiku, abai dan pergi ?
bagaimana nasib bagaimana nanti,
jika aku terlalu lelah, untuk mempertanyakanmu lagi ?

dik, kata-kataku kehilangan tajinya. . . 

yang tak mampu mulutku jawab

senyawa
apakah itu kamu ?
air yang membasuh perihku,menyelip dibulir ombak detik menggulung rindu
zat yang memenuhi permukaan hati dengan genangan candu

itukah kecipakmu ?
siklus arus yang tak henti mengaliri darahku
tiap teguk cawan senyummu serasa pusaran yang melarutkan benci mengeramkanku dipalung hati
demi waktu bersanding denganmu itu muaraku
kini, setubuhi gersangku dengan gerimismu
karena hatiku mati, kering kerontang bernisan sepi

apakah itu kamu ?
sinar yang menggeliat membakar sumbu cemburu, melumat habis beku yang mengkristal dipeparu
sumpah mati aku berhasyat menjadi api
melahap habis kamu hingga abu dan kusebar penuh ronggaku

itukah matamu ?
ribuan cahaya yang luruhkan gelap
menatapmu aku tak kuasa terserap
kamu meredup, aku tak hidup

apakah itu kamu ?
pijakan langkahku, menopang tegapku memetik langit
hingga tumpah hujan tawa untuk menyesap memaati debu

itukah senyummu ?
tempat gravitasi bersembunyi karena malu
pusat magnet yang menarik seluruh indraku
kamu serupa permadani coklat yang siap menerima jatuhku
dalam selambu akhir waktu
kubur aku dengan ketenangan yang mengharu biru

apakah itu kamu ?
angin yang mengupas luka dan menutup airmataku ?
badai yang memporak-porandakan sepi,beliung yang menghempas sembilu sendu
udara yang hadir setalah sesak beranak pilu

itukah bisikmu ?
yang hadir perlahan setenang nafas dan bersepoi menelisik membran telinga
semilir yang mengantarkan kata-kata, memenuhi tabung rasa yang hampa
hembusmu, udara yang menghayati dengan segenap nyawa
kamu air, api, tanah, udaraku senyawa surga kedua
menemaniku disetiap senja
hingga bermasa-masa
bersama-sama 

senyawa

aku masih mencintaimu, bahkan dalam mati sekalipun
aku masih akan mengatakan itu
jika memang kata-kata masih punya nyawa di alam sana

sudah cukup hidup merampas nikmat matiku
aku tak ingin bayangan akan kematian masih mempermainkanku


aku ingin makamkan mayatku di liang lahat yang diselimuti kabut napasmu, kabulkanlah

sebelum kabut waktu susut dan menguburkan tubuhku
dalam sunyi tak terkata

ariesta

aku tidak menyalahkanmu, akan ku lihat kau bahagia
hanya dulu.. aku dapat melihat hati yang penuh pada sepasang matamu
sekarang aku kagok, oleh karena begitu banyak ketakutan didalamnya
aku ingin bertepuk tangan, namun khawatir kau tersinggung

apakah ini pertanda untukku, meniti hidup yang baru dengan seseorang yang baru
aku tidak yakin !!
sebab sampai di hari ini, rindu selalu lebih kuat dari kesedihan
aku tidak mau memilih pengganti, dengan hati yang hanya memberikan rasa kasihan
hati yang menjerit, tidak harus selalu menyerukan kesepian
biarlah aku sendiri, asal tidak memiliki yang tidak aku cintai
ini lebih baik dari asal-asalan

hanya dengar kekasihku,
jangan kau karena cintaku begitu besar, cintaku jadi tak berarti apa-apa
kau tahu kalau kau mencintaiku, namun cintakah yang kau inginkan ?
jika kau bilang lebih mencintaiku, lalu untuk dia kah sisanya ?
ahh, isi hatimu dipertanyakan

sekarang bayangkan, jika hati kekasihku dicuri orang
akankah hatinya akan kembali dengan utuh ?
karena siapakah aku, yang menjawab tanya sendiri
aku dan kamu dulu pernah menjadi kita
baiklah, baiklah biar bumi berputar waktu bergerak
dan aku terpaku saja akan bayang-bayangmu

yang baik selalu menang,
yang terbaik hanya dikenang
aku kalah. . .

aku kalah

kepada orang yang baru patah hati

Aku akan tetap seperti ini, dingin dan kaku. Seperti katamu, menyebalkan. Aku tidak akan bersikap terlalu ramah. Mungkin terkesan tidak peduli. Seperti katamu, menyebalkan.

Setiap tutur kataku mungkin menyakitkan. Seperti tidak berperasaan. Seolah tidak mengerti perempuan. Sangat menyebalkan. Setiap tindakanku mungkin terlihat menjengkelkan. Seolah tidak memiliki kelemahlembutan. Seperti katamu, menyebalkan.

Kamu hanya tidak tahu. Aku memang sengaja menyebalkan. Agar kamu tidak menaruh apa-apa di dalam diriku, hatimu misalnya.
Aku tidak akan bersikap hangat dan terlalu ramah, kamu bukan siapa-siapa kan? Aku tidak akan sembarang memberi perhatian. Meski kamu menuntut diperhatikan, tapi siapa kamu. Teman hidupku? Bukan. 

Aku jaga kamu dengan demikian. Jangan paksa aku untuk membuatmu jatuh hati. Jangan menitipkan apapun di tanganku karena aku bisa saja mematahkannya. Jangan memaksaku untuk begitu lemah lembut karena itu hanya untuk teman hidupku.

Aku menyebalkan bukan?
Memang :)

laki-laki menyebalkan

pure dan simple..
ditakdirkan sebagai cowo ngga ganteng cuma sebatas ngangenin, normal berkelakuan baik (skck terlampir)
dibesarkan, dirawat, dididik, dipelihara, dikembangkan, dilestarikan dan dibudi dayakan di tengah keluarga dengan tingkat perekonomian menengah ke samping..

tinggal di Micronesia

Ferdian Felix

Popular tracks