PUISI PICISAN

Verse 1

Dua ribu sembilan. Enam tahun yang silam. Tujuh puluh enam bulan lalu, lima orang saudara saya berpulang. Digariskan dalam satu kejadian. Satu malam. Takdir bicara tanpa sambutan.
Saya ingat, dan masih hangat. Saat berita duka membangunkan. Seperti mimpi tapi malam sudah jadi pagi. Bertubi-tubi belasan pesan singkat dengan pesan yang sama. Sama-sama susah dicerna. Susah ditelan. Dilogiskan. Dilukiskan. Diterima akal-sehatan. Akhir pekan tapi tak ada yang dirayakan. Penuh tangisan. Menangisi kepergian kalian.
Terlalu cepat. Tapi saya tak bisa menulis ulang takdir Tuhan.
Ini puisi picisan. Disempalkan dalam beat gratisan. Tapi bukan fiksi karangan. Ini nyata, dan karangan bunga untuk bela sungkawa itu benar-benar ada.
Mungkin kalian sudah duluan. Tapi kenangan masih lekat di ingatan. Candaan, tawaan, kejutan, semua terekam dan tersimpan. Dua ribu sepuluh saya hijrah ke Jogja. Dua ribu delapan kita ke sana. Belasan bocah umur belasan kelas satu SMA. Libur kenaikan kelas. Dibumbui sedikit was-was karena rapat pleno wali kelas menentukan tetap di sepuluh, atau jadi sebelas.

Verse 2

Sekarang, bulan Mei dua ribu lima belas. Semua orang sudah waras. Tak ada lagi bekas bibir di ujung gelas. Kertas bernominal jadi binal. Lebih menarik dari tawa lepas.
Waktu terus mengalir deras. Berbanding lurus dengan takut yang membuas. Sementara tandus dan panas jadi harga yang pantas. Atas nama padanan sosial, Jakarta-Pasundan pun harus jadi sejengkal.
Agar saya dianggap normal yang tau norma buatan tanah tak kekal. Dilema pariah seperti saya. Akrab dengan gagal, kenyang dengan bual. Hadiah sundal-sundal yang saya kenal.
Terkenal? Itu obsesi penganggur berkain sarung. Fenomenal? Itu efek anggur kolesom. Gocap, ada di warung. Saya kebal karena murung sudah mati. Saya bakar di sampahan tadi pagi.
Kawan, lima bintang yang paling terang itu kalian. Bukan di botol, tapi pendar di balik malam. Membuat nanar mata yang kurang sinar. Menyempitkan sisi-sisi dimensi fiksi yang tadinya lebar.
Liur-liur liar menyuruh saya saya bersabar menunggu giliran menembak sasar tanpa belajar. Tapi saya handal membuat gusar para pecundang yang gemar koar-koar macem preman pasar.

Sadewa