Dokumentasi Vicara Veritas: 

Orasi kebudayaan awal tahun merupakan program rutin yang digagas oleh Forum Studi Kebudayaan Institut Teknologi Bandung dan Yap Institute.

Pada tahun ini (22 Januari 2014) bertempat di Lapangan Merah Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung Pkl 18:00, Orasi kebudaayaan awal tahun mengangkat tema "PETA(KA) 2014" memahami hari ini sebagai sejarah masa depan.

Salah seorang pengisi acara adalah Acep Iwan Saidi yang berprofesi sebagai dosen di FSRD ITB dan budayawan, pemikiran-pemikiranya kritis dan banyak tersebar diberbagai surat kabar nasional.

Kali ini Acep Iwan Saidi menyampaikan orasi kebudayaannya yang dikemas dalam Narasi Puitik dengan judul "Pengakuan Seorang Koruptor".
Mari pertahankan harapan, sekalipun realitas kerap memaksa untuk berhenti berharap, republik ini harus tetap berdiri!

Naskah Orasi
=============================
(Di sebuah ruang penjara yang pengap, di sebuah sudut tampak gulungan dan tumpukan bantal kumal. Di bagian lain ada pintu kecil setengah badan. Di pintunya tertulis “WC Umum”. Di dinding kamar terdapat coretan berbunyi, “korupsi lebih baik daripada bunuh diri!)

“Enam belas meter persegi, 16 orang, dengan satu kamar mandi, ini sungguh keterlaluan. Di mana keadilan itu? Di mana hukum kalian letakkan? Ini benar-benar tidak manusiawi. Bagaimana mungkin orang yang telah begitu berjasa kepada bangsa dan negara kalian lempar ke sebuah ruang sempit, kumuh, dan tengik ini! Aku tidak bisa terima semua perlakuan kalian! Ini bukan sekedar penghinaan, melainkan perampasan hak kemanusiaan untuk lebih dari tujuh turunan! Kalian biadab!”

“Perampok! Kalian bilang aku perampok! Kalian menuduhku telah merampas uang negara, menghabiskan seluruh kekayaan negara untuk keperluanku sendiri! 10 milyar, ya, 10 milyar yang aku pakai untuk biaya kehidupan keluargaku, untuk  mendandani tubuhku, untuk kendaraanku yang mewah, untuk teman selingkuhku, itu memang aku ambil dari kas negara. Tapi, mengapa kalian tidak berpikir tentang bagaimana aku bekerja siang dan malam untuk membangun bangsa ini, untuk keperluan kalian. Mengapa pula kalian tidak berpikir bagaimana aku mendapatkan jabatan ini, meraih kursi kekuasaaan, mendudukinya, dan kemudian karenanya aku bisa mengelola bangsa ini! Apakah kalian pikir itu semua aku dapatkan dengan gratis? Apa kalian pikir semua bisa didapatkan dengan hanya bermodalkan kejujuran, kecerdasan, juga kepura-puraan?  Omong kosong itu semua. Kalian sangat keterlaluan!”

“Ketahuilah, 10 milyar bahkan tidak cukup sebagai cicilan pertama untuk membayar  semua yang telah aku keluarkan dalam usaha merebut kekuasaan ini. Kalian tahu, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadi pemimpin kalian? Asal kalian tahu, untuk biaya yang terkecil, membuat poster saja, misalnya, 1 lembar poster harganya Rp 8.750., dan aku harus mencetak 100 ribu lembar. Coba kalian hitung, Rp 8.750 x 100.000, sudah  Rp 875.000.000, belum lagi biaya pengangkutan, distribusi ke daerah-daerah, pemasangan, dan tetek bengek lain. Untuk poster saja, sesuatu yang mungkin kalian anggap remeh, harus aku keluarkan lebih dari satu milyar. Dan sekali lagi, ini bagian paling kecil yang aku keluarkan untuk duduk di kursi kekuasaan itu. Tidak akan masuk akal kalian jika aku ceritakan berapa dana untuk  membayar iklan televisi, untuk lembaga survey, untuk ustad, budayawan, kritikus, sampai  ketua RT. Tidak pernah ada yang cuma-cuma. Dan berbagai pungutan tidak pernah berhenti sampai sekarang, sampai tahun terakhir jabatanku pada periode kedua ini. Tapi, dengan enteng saja kalian menistakanku di akhir masa pengabdianku terhadap bangsa ini. Kalian telah melewati batas!

“Suatu malam, ya, suatu malam, dia datang mengetuk pintu rumahku. Hujan deras di luar  tampak tidak dihiraukannya. Tubuhnya basah kuyup. Hujan besar rupanya lebih dari cukup untuk membuat penampilannya tidak karuan, padahal ia hanya berjalan dari halaman rumah, tergesa-gesa keluar dari mercinya, tergopoh menuju pintu rumahku. Usianya yang setengah baya tidak bisa menahan tumpukkan bedak tebal yang melapisi kulit wajahnya yang mulai keriput. Hujan menjadi air bah  menjebol tembok yang menutupi  kepura-puraan perilakunya. Seluruh tubuhnya menjadi hitam, gelap, dan di sana-sini tampak  bintik-bintik ketuaan yang  jelek, seperti malam yang ditusuk-tusuk hujan lebat itu.

(+) “Hujan deras, Bunda, dan hari sudah terlalu malam!”

Puih, aku harus memanggilnya Bunda, sebuah sapaan yang menjijikan, sedangkan aku sendiri tidak tahu bagaimana silsilah perempuan itu sehingga harus selalu berurusan dengannya. Suaranya yang parau selalu masuk ke telepon selulerku, siang hari mengganggu semua pekerjaaanku, dan malam hari mengusik ketenangan, memukul-mukul tubuhku yang penat oleh kelelahan. Keparat! Bahkan aku terpaksa harus mengangkat teleponku saat berada di atas tubuh sintal kekasihku.

(-)   Hujan adalah rejeki, Sudaraku. Dan hujan malam ini justru menjadi anugerah luar biasa buat kita!

(+) Hahaha, maksud Bunda, hujan akan menghalangi kita dari para pengintai KPK!

(-)   Tidak  ada yang akan datang malam-malam begini ke rumahmu, Saudaraku, apalagi di bawah hujan yang seolah ditumpahkan Tuhan dari langit. Tapi aku terpaksa harus melakukannya. Tidak ada cara lain. Semua telepon kita sudah disadap. Semua nomor rekening kita sudah tercatat. Hanya cara konvensional ini yang masih bisa kita lakukan

(+) Lantas, apa pesan Saudara Bos Yangmulia untukku?

(-)   Saudara Bos Yangmulia tetap berada di garis depan pemberantasan korupsi. Di televisi, pemasangan iklan layanan masyarakat untuk hal itu sudah ditambah lagi freukensinya. Kita tidak boleh menyebut-nyebut namanya di sini, itu pesan Saudara Bos Yangmulia.

(+)  Kalau Saudara Bos Yangmulia di garis depan, Bunda, kita di garis mana? Apa pesannya tentang hal ini?

(-) Saudaraku, terlalu banyak urusan yang harus dikerjakan Saudara Bos Yangmulia. Saudaraku tahu, jabatannya di pemerintahan dan di partai politik sangat menentukan. Sedangkan Partai kita kian terpuruk sebab ulah para penguasaha media, LSM, dan para pengamat yang kurang pekerjaan itu. Padahal pemilu tinggal menghitung hari, kita tentu tidak mau jadi pecundang. Oh, bagaimana mungkin partai paling besar ini tiba-tiba jatuh ke titik nadir.

(+) Apa pesannya, Bunda?

(-)   Partai memerlukan biaya yang besar,  Saudaraku, harus diselamatkan!

(+)  Dan aku yang harus menyelamatkan?

(-)  Kita, Saudaraku, bukan hanya Saudaraku. Tapi, sebagai Penguasa di zona paling basah, harus diakui bahwa yang paling besar memang dari Saudaraku. Besok subuh beberapa orang kurir akan datang. Dan saya tidak boleh terlalu lama berada di sini. Oh, ya, ini Majalah Pria Populer pesanan Saudaraku. Pendatang baru ada di halaman Sembilan, sedang haus popularitas. Rambut pirang dengan kulit yang ranum. Matanya sebening telaga. Ini pasti selera saudaraku. Seperti biasa, Saudaraku hanya perlu menelepon pemrednya. Aku pamit. Sampaikan saja salamku sama si pirang. Besok pagi, kalau  Saudaraku mau, pasti sudah bisa bersua dengannya. Selamat malam!

Perempuan itu kembali tergopoh-gopoh keluar rumah. Sekali lagi ia menembus hujan besar menghampiri mercinya. Kalian tahu apa artinya itu? Bisa kalian duga apa yang harus aku titipkan subuh hari kepada kurir yang disebut wanita keparat itu? 700 milyar cash harus dimasukkan ke dalam mobil box yang mereka bawa. 10 buah peti besar berisi lembaran 100 ribuan yang aku ambil dengan nyawaku sendiri harus aku layangkan sebagai upeti. Dan aku sendiri tidak pernah tahu ke alamat mana uang itu dikirim.

Wanita itu, seperti aku katakan tadi, tidak pernah aku ketahui asal-usulnya. Ia tiba-tiba saja hadir dalam kehidupanku hanya karena aku sering melihatnya di rumah atasanku, lalu di rumah pejabat-pejabat tinggi negara, lalu juga di istana para penguasa zona yang satu listing denganku. Ia selalu disebut dalam obrolan tingkat tinggi. Ia dapat memuluskan jalan bagi siapapun yang ingin menjadi pejabat, yang hendak mendapat proyek, tapi sekaligus dapat memenjarakan siapa saja yang dianggap tidak lagi loyal kepadanya. Ia seperti hantu, bergentayangan di mana-mana,  tapi tidak pernah meninggalkan jejak. Kalian tahu, 700 milyarku menjadi upeti tanpa tanda terima, tanpa kuitansi.

Keparat, maka kejahatan itu berhenti pada diriku. Akulah si koruptor besar, si perampok 10 milyar, sedangkan 700 milyar tidak bisa aku lacak kemana perginya. Lantas kalian meminta aku untuk menjadi whistleblower, berharap agar aku dapat membongkar  jaringan korupsi yang kalian anggap merugikan negara itu? Kalian semua bodoh! Mana bisa aku melakukannya. Paling yang dapat aku sebut namanya hanya kroco-kroco, yang terlalu senang hanya mendapat satu-dua milyar, yang dengan enteng membubuhkan tanda tangan di atas secarik kwitansi, yang mereka anggap tidak ada gunanya. Mereka memang kroco-kroco yang terlalu mata duitan. Terlalu banyak orang seperti mereka ini, mereka tersebar di mana-mana, di setiap lembaga, mengatasnamakan  rakyat, sedangkan pekerjaanya hanya bicara, omong doang. Banyak di antara mereka juga berperan sebagai “maling yang teriak maling”, sok pahlawan pemberantas korupsi, padahal tiap tarikan nafasnya adalah langkah yang dihela uang haram.

Baiklah, pada saatnya nanti mereka akan aku bongkar. Terlalu mudah untuk menyeret mereka ke pengadilan, menjebloskannya ke ruangan tengik ini. Meskipun mereka sampah, tidak berguna, mungkin masih bisa memuaskan kalian, menambah prestasi kerja kalian, dan menjadi bahan baku yang bisa dikelola oleh para pengusaha media sehingga darinya dapat ditarik laba yang berlipat. Tapi, kalian jangan berharap aku dapat  menyebut nama-nama yang berdiri di atas kepalaku. Ini bukan soal aku tidak berani mengatakannya, melainkan memang tidak ada bukti di tanganku. Bahkan aku sendiri tidak pernah tahu, di mana semuanya berujung. Siapakah pemilik kekuasaan tertinggi di negara ini, laki-laki atau perempuan, seorang kakek atau istrinya, seorang Bapak atau teman selingkuhnya, aku tidak pernah mengerti.

Nah, dengan semua itu, apakah aku layak disebut sebagai koruptor, aku hanya mengambil bagianku. Selebihnya aku hanyalah orang yang tidak mengerti. Bagaimana mungkin aku dibui karena ketidakmengertianku. Sebagaimana halnya juga kalian yang tidak pernah mengerti aku, sementara kalian tidak pernah dibui, tidak pernah merasakan bagaimana jika kalian berada di dalam posisiku.

Tapi, baiklah, ini harga yang harus akubayar. Baiklah, aku akui akulah koruptornya, akulah durjana perampok uang negara! Sedangkan mereka yang berdiri di atas kepalaku adalah orang-orang mulia meskipun aku sendiri tidak pernah melihat batok kepalanya. Mereka memang bukan manusia, tetapi hanya suara yang tidak bisa dilacak sumbernya. Mereka adalah hantu yang berkeliaran dimana-mana! Oh, sangat menyedihkan, bagaimana negeri besar ini telah dikendalikan oleh hantu, oleh iblis yang setiap kali siap memangsa kalian!

Ya, koruptor yang sebenarnya adalah hantu! Kalian boleh bangga, boleh puas telah menangkapku, orang-orang sepertiku, lalu menjebloskannya ke dalam bui. Ke dalam ruang berukuran 16 x 16 meter untuk 16 orang ini, yang hanya punya satu toilet. Kalian boleh puas, kalian boleh berpesta seperti orang merayakan tahun baru! Lepaskanlah kembang api itu setinggi-tingginya ke langit. Tapi, aku jamin ia tidak akan pernah bisa menyentuh tubuh hantu!

Percayalah, kalian tidak akan pernah bisa menangkap hantu, kecuali dengan membakar sarangnya!!!

Selamat tahun baru!

Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB
Disampaikan sebagai ‘Narasi Puisi’ dalam acara Orasi Kebudayaan PETA(KA) 2014 di Lapangan Merah FSRD ITB
Bandung, 22 Januari 2014

"Pengakuan Seorang Koruptor", Narasi Puitik dari Acep Iwan Saidi

Dokumentasi Vicara Veritas:


Sabtu, 8 Februari 2014 di Bandung, Prof. M.T. Zen membawakan materi Restorasi Meiji (The Meiji Restoration) Akar Jepang Modern.

Prof Zen membuka dialog dengan pengantar
"Saya sangat senang pagi ini, karena berbicara soal ini. Ini masalah menarik perhatian sejak lama.
Ada beberapa hal dari Jepang itu yang sangat saya kagumi yaitu
Pertama: Bangsa yang sangat disiplin dan berani sekali. Berani dan disiplin, itu saya kagumi.
Kedua: Saya yakin apa yang dikerjakan oleh Jepang itu, bagian-bagiannya sangat bermanfaat bagi kita, kita yang sedang bangun dan sedang mau membangun bangsa. Kita ini bukan membangun rumah, bukan membangun pondok. Kita membangun bangsa!"

Diskusi ini merupakan rangkaian topik "Belajar dari Peradaban" sebuah sajian untuk anak-anak muda dan siapa saja yang tertarik dengan semangat-semangat "Aufklarung" dan progresivitas.
Dengan mengetahui peradaban masa lalu, kita dapat reflektif sedang dimana kaki kita berpijak saat ini dan dapat menjadi bahan bakar untuk merajut langkah masa depan.

File Presentasi dapat dibaca: https://www.dropbox.com/s/5dk0kxw9wafps3b/Restorasi%20Meiji%2C%20Akar%20Jepang%20Modern.pdf

Prof. MT Zen: Restorasi Meiji, Akar Jepang Modern

"Extension Course Filsafat (ECF)UNPAR 2 Oktober 2015"

Prof. Bambang Sugiharto: Kematian Sebagai Paradigma Kehidupan.MP3

Membagi akal sehat, menebar semangat dan melawan kebodohan.

vicara.veritas

Popular tracks