Puisi ini diambil dari buku puisi Agus Noor, Ciuman Yang Menyelamatkan Dari Kesedihan.

Tentang Seorang Penyair Yang Ingin Menuliskan Sajak Cinta - Agus Noor

Pagi Ini - Aan Mansyur

HUJAN KESUNYIAN

/1/
langit kelabu
diguyur hujan kesunyian
—yang tak sebentar
kepedihan ini  
nyaris kekal tanpamu
 
/2/
sore ini,
di meja 25 dekat jendela
di Oost kafe (tempat aku bekerja)
aku adalah kursi
—yang duduk sendiri
hari ini kafe sepi pengunjung
maka rindu ini kembali kutabung
ke dalam puisi
 
aku mengingatmu
tentu saja mengingatmu:
sebab aku tak sanggup
mengakhiri perihal
yang paling kucintai
dalam hidup
 
termasuk engkau
 
aku memandang kemurungan langit
tiada burung menjerit
tiada keriangan di situ
selain hujan yang sendu
 
sore ini,
aku mengingat sesuatu:
segala yang jauh seperti waktu
segala yang (mungkin) sepele
tapi sukar dijelaskan
dan tiba-tiba ada
yang lembut dan hangat
menetes ke sepasang pipi
jika itu bukan engkau
tak mungkin aku sebahagia ini
 
/3/
kupandang langit sore itu
—masih selalu begitu
seperti ada kehilangan
yang hendak
dibahasakan
—dan dibasahkan
sementara di meja ini
akulah kursi yang sendirian
dan ditinggalkan
 
dari langit itu ada yang gugur
seperti jari-jari hujan
hendak menyentuh rerumputan
dan aku mendengar, debar
jantung perempuan
dibasahi kerinduan
 
pernah suatu hari
aku berkata padamu:
“kau tak tahu sakit rumput
ketika akarnya tercabut
atau perasaan langit
kala ditinggalkan hujan:
tapi itulah kepedihan.”
 
/5/
di luar hujan masih menjulur
ke dalam kepala orang-orang
yang merayakan
(mungkin) kebahagiaan
 
kemudian hujan itu
berjalan ke arahku
hujan yang datang
dari masalampau
membasahi mataku
dan tumpah
sebagai engkau
 
tak ada yang mengenali
tumpahan itu. tak ada.
kecuali hujan itu sendiri
dan seseorang yang
menulis puisi ini
 
“barangkali
aku dan hujan
adalah dua perihal perih
yang enggan dipisahkan”
 
dan dalam gigil rinduku
engkau menjelma lengan gaib
memeluk kesunyianku
engkau menjelma api
menyalakan puisiku.
 
/6/
setiap aku mengingatmu
selalu terbentang sebuah jalan
yang selalu penuh dengan hujan
 
“kenapa engkau begitu tega
mengirim hujan
yang sendu ini kepadaku?”
 
di dalam hujan
aku berjalan membelah kabut
hujan menangkupkan dingin dan sepi
kita nyaris tak bertemu
selain jerit api dari puisi ini
 
kekasih,
aku suka membayangkan:
hujan adalah perempuan
—yang bersedih
jerit yang jatuh paling hening
—dan lirih
“tidakkah engkau
mendengarnya?”
 
kulihat mata hujan
mata hujan—menatap mataku
mata kami yang
sudah sama-sama basah
saling berpandangan
melihat engkau
melihat engkau
yang begitu cantik
kami teteskan
 
aku ingin menjelma hujan
engkau, cahaya sore yang lembut
pertemuan kita:
bayang-bayang yang basah
 
sementara itu
senja perlahan pudar
malam hendak tiba
bila kelam tiba
—dan hujan belum reda
bayangan kita akan
jadi jubah hitam
di dalamnya
dirahasiakan semua
airmata kesedihan
 
/6/
senja memudar
tapi langit tetap basah dan segar
kutatap jamdinding
dekat meja bar
sambil kubayangkan:
jarum itu
berputar ke kiri.
lalu tersenyum
ketika luka di dalam dadaku
sembuh sendiri
 
/7/
seperti kecantikan
pada akhiranya kita tahu
segalanya cuma sebentar
yang putih jadi cokelat
yang kelabu jadi hitam:
seperti langit itu
 
di meja ini
aku masih jua kursi tua
yang duduk sendiri
memandang langit diguyur
hujan kesunyian
yang tak sebentar
dan kepedihan ini
nyaris kekal tanpamu
 
Surabaya, 2013 

Mungkin aku harus pergi

Hendrik Alex Full